Rabu, 11 Januari 2012

Aku Juga Punya Keinginan

AKU JUGA PUNYA KEINGINAN
“Fenomena anak-anak yatim dan dhuafa yang terlantar”


Fenomena maut memang sangat mengerikan dan selalu menyisakan permasalahan bagi yang ditinggalkannya, terlepas apakah ia orang yang berpunya terlebih mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Anak-anak mereka yang berharta akan disibukkan dengan pembagian warisan, sampai pada pemboikatan saudara karena pembagian yang tidak sama, bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi akan menyisakan penderitaan bagi anak-anak mereka. Yang ujung-ujungnya menyebabkan keterlantaran mereka.
Kita hanya bisa bersimpati tanpa bisa berbuat apa-apa melihat mereka, anak-anak yang harus dengan rela ditinggalkan orang yang menjadi gantungan hidupnya, sebenarnya mereka tidak sadar dengan yang terjadi pada dirinya, karena memang mereka masih belum mengerti bahwa kerasnya hidup telah menunggu mereka didepan mata, bisa saja mereka bilang bahwa alam ini kejam suatu saat nanti, tanpa mereka berfikir ada suatu aturan Tuhan yang harus mereka patuhi sedangkan mereka sama sekali belum mengerti dengan semua itu, yang mereka tau “aku telah ditinggalkan orang yang menjadi gantungan hidupku” nasib begitu kejam memperlakukanku, sang dai berkata “Tuhan tidak akan pernah memberikan suatu cobaan untuk makhluknya yang tidak mampu dengan cobaan itu”, mungkin ini hanya sekedar peringan fikiran atau bentuk ketidak berdayaan untuk membantu sekian banyak mereka yang tidak bernasib baik. Padahal mereka akan bilang “AKU JUGA PUNYA KEINGINAN” seperti mereka yang bernasib lebih baik dariku; ingin menikmati fasilitas yang sama, mendapatkan perlakuan yang sama, menikmati hal yang sama seperti mereka.
Coba anda bayangkan jika ini terjadi pada diri kita, apa yang akan terjadi? dengan keadaan masih belum mampu membawa diri telah ditinggalkan oleh orang yang menjadi tumpuan dan harapan kita, secara psikologis mereka akan mengalami tekanan jiwa, mereka yang senantiasa mendapat kasih sayang_dan bahkan becanda ria disaat pagi atau menjelang sore_harus sendirian melihat tetangga yang asik bercengkrama dengan orang tua mereka, tidakkah batin kita akan menangis walaupun bibir kita terlihat tersenyum? Mungkin sang motivator akan bilang “jangan pernah anda menoleh kebelakang, lihatlah kedepan keberhasilan akan menunggu kita, biarkan nasib menghukum kita, tapi nasib tidak akan pernah bisa menghukum jiwa kita”
Mungkin akan ada yang bilang mereka memanfaatkan nasib mereka untuk mendapat simpati dari orang lain, tapi benarkah mereka seperti itu? Mereka hanya berjuang melawan kerasnya arus kehidupan; tidak bolehkan mereka mempunyai impian yang sama seperti mereka yang penuh gelamor kemewahan, walaupun hanya sekedar secuil perhatian dari kita, coba kita renungkan sair lagu kang iwan dibawah ini, satu potret nyata yang terjadi dalam kehidupan mulai masa lagu ini dirilis dimasa orde baru sampai pada orde reformasi hari ini masih saja potret ini terlihat jelas di sekeliling kita.

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu,
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal

Cepat langkah waktu pagi menunggu
Si budi sibuk siapkan buku
Tugas dari sekolah selesai setengah
Sanggupkah si budi berdiam di dua sisi

(donwload disini)

Mereka mempunyai impian tentang penghidupan layak; mereka juga ingin menikmati waktu selayaknya mereka terima, tidak disibukkan dengan tanggung jawab yang semestinya bukan ditanggung oleh mereka, mereka juga ingin mendapat pengakuan dari lingkungan sosialnya. Tidak ada seorangpun didunia ini yang mempunyai keinginan untuk menjadi sampah masyarakat, kalaupun itu terjadi karena kerasnya hidup yang menggilas mereka; karena jelas negeriku ini belum bisa menjanjikan kehidupan yang layak, tapi setidaknya negeriku ini masih bisa kita tempati menunggu hari yang dijanjikan. Negeriku memang unik, seunik manusia yang mendiaminya, dari Sabang sampai Merauke, berjajar anak-anak yang terlantar menunggu uluran tangan mereka yang bersimpati, kebhinekaan impian mereka menjadi dinamika ketidak pastian nasibnya, dinamika penderitaan menghias potret hidup mereka.
Haruskah impian, harapan, do’a, serta hasrat mereka hilang tanpa guna? Tak mungkinkah mereka mendapati selayaknya yang harus mereka terima, alangkah indahnya jika mereka merasakan sedikit saja kebahagiaan dari tangan-tangan yang mempunyai belas kasihan, berikanlah kesempatan bagi mereka untuk mencicipi seteguk kesenangan pada jiwa mereka yang menderita.
Orang sufi akan bilang “ini kehendak alam, biarkan alam yang akan menjawab, nasib mereka sudah ditentukan, jadi jangan mencoba menentang keinginan Tuhan” yang jelas Islam coba menjembatani antara si kaya dengan si miskin dengan memasukkan zakat pada rukun Islam ke tiga. Impian ini memang impian yang gila, namun aku yakin ini bisa menjembatani kerisauan jiwa mereka yang mempunyai keinginan, perasaan dan aspirasi seperti kami.