Selasa, 10 Januari 2012

PEMBINAAN MENTAL ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM


PEMBINAAN MENTAL ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kata “pembinaan” berasal dari kata “bina” yang berarti “bangun”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “pembinaan” Adalah sebuah proses, cara membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik[1]
Dalam masyarakat kita, istilah mental tidak asing lagi, orang-orang sudah dapat menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (574) mental diartikan "hal yang menyangkut batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga." Sedangkan dalam Kamus Psikologi mental diartikan "hal yang menyinggung masalah fikiran, akal, ingatan atau proses-proses yang berasosiasi dengan fikiran ingatan" (Chaplin, 2002: 340).[2]
Dalam ilmu psikiatri dan psichoterapi, kata mental, sering digunakan sebagai ganti kata personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya (Zakiah Daradjat, 1975 : 39).[3]
Pembinaan mental anak sering kali kurang mendapat perhatian dari orag tua disebabkan kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya yang berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak mereka, orang tua menganggap bahwa dengan uang dan materi akan mampu membahagiakan mereka, sedangkan mereka justru sibuk mencari dan mengumpulkan harta benda, sehingga mengesampingkan kasih sayang terhadap anak-anak mereka.
Kebiasaan seorang anak seringkali dianggap perkara biasa, anggapan ini merupakan anggapan yang salah karena sopan santun merupakan dasar untuk menjadikan umat beradab, sangat perlu diajarkan sejak anak usia dini oleh karena itu hendaklah orangtua membiasakan anak untuk berbuat baik sejak usia dini baik yang besifat vertikal maupun horisontal, sebagaiamana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang perintah sholat sejak anak umur tujuh tahun sebagai berikut :
مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ ) سونن أبو داود ٤٩٥ (
Artinya : “Rasulullah bersabda suruhlah anak kalian untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila tidak mau melaksanakan sholat sewaktu mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya mereka,” (HR. Abu Daud)[4]
Menurut Djalaluddin, fungsi dan peranan kedua orang tua sebagai teladan terdekat dengan anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan orang tua mereka.[5] Faktor-faktor imitasi, sugesti, dan simpati, misalnya memegang peran penting dalam interaksi sosial. Anak mula-mula melakukan identifikasi terhadap orang-orang dewasa di rumahnya, biasanya anak laki-laki terhadap ayahnya dan anak perempuan terhadap ibunya. Oleh karena itu, kesempatan anak untuk berindentifikasi dan meniru tingkah laku orang tua-nya sangat besar.
Dalam Psikologi, Seorang anak pada dasarnya akan meniru apa yang dilihat atau dialami pada lingkungannya (behaviorisme/empirisme) di mana semua memori kejadian akan tersimpan dalam pikiran alam bawah sadarnya, sehingga lambat laun akan membentuk watak serta kepribadian anak ketika dia beranjak dewasa.[6]
Pada realitasnya berdasarkan intensitas waktu seorang anak selama satu hari misalnya, yang terjadi adalah anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan lingkungan di luar sekolahnya (keluarga). Ini artinya keluarga mempunyai peran yang sangat sentral di dalam membentuk kepribadian dan akhlak anak. Hal ini disebabkan karena keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama.[7]
Orang tua sebagai manusia yang menjadi pujaan anak harus memberikan teladan kepada mereka baik dalam perkataan, perbuatan dan akhlaknya. sebab berbagai penampilan tingkah laku yang ditampilkan orang tua secara tidak disadari telah terinternalisasikan kedalam diri dan prilaku keseharian anaknya. Islam memandang orangtua sangat berperan dalam pembinaan anak, sebagaiamana hadits yang diriwayatkan oleh HR Ahmad bin Hambal, Nabi bersabda :
Artinya : “Tidak ada suatu pemberian utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik”. (HR. Ahmad bin Hambal)
Dalam keluarga orang tua bertugas sebagai pemimpin keluarga yang harus memelihara dan melindungi keselamatan hidup dan kehidupan keluarga baik moral maupun materiil. Suami adalah pimpinan bagi istri dan anak-anaknya, dimana istri atau seorang ibu mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu membina dan membentuk karakter seorang anak dimana bahasa kasih yang dimiliki oleh seorang ibu dapat diterima oleh seorang anak, karna kasih sayang yang diberikan sejak dalam kandunganm hingga anak tumbuh dewasa.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ........(QS. At-Tahriim : 6)

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas adalah Bagaimana Pembinaan Mental Anak dalam pesfektif islam dengan memilih hadits perintah sholat yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai dasar dalam Pembinaan Mental Anak, dengan mengkomparasikannya pada ayat-ayat Al-Qur’an serta relevansi hadits tersebut dengan realitas kehidupan hari ini?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Analisis Teks Hadits
مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ ) سونن أبو داود ٤٩٥ (
Artinya : “Rasulullah bersabda suruhlah anak kalian untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila tidak mau melaksanakan sholat sewaktu mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya mereka,” (HR. Abu Daud)[8]

مُرُوا (suruhlah) adalah fi’il amar jamak mudzakkar mukhotob yang berfungsi sebagai perintah_dalam kaidah ushul fiqih, kata perintah mempunyai kalasifikasi 10 macam; (1) Nadbun berarti perintah sunah atau anjuran. (2) Irsyad berati menunjukkan (3) Do`a berarti memohon (4) Iltimas berarti sindiran (5) Tamanni berarti berangan-angan (6) Takhyir berarti perintah memilih (7) Taswiyah berarti mempersamakan (8) Ta`jiz berarti melemahkan (9) Tahdid berarti ancaman dan (10) Ibadah[9] _kepada   كُم (kamu sekalian) yang memunyai أَوْلاَدَ (Anak –anak), أَوْلاَدَكُم Maf’ul yang mansub dengan fathah karena jamak taksir berfungsi sebagai yang mendapat perintah, dhomir kum merujuk pada yang mempunyai anak, perintah tersebut adalah بالصَّلاَةِ (sholat) jadi مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ “Suruhlah anak-anakmu sholat” merupakan perintah dari perintah; perintah nabi kepada yang mempuyai anak, dari yang mempunyai anak kepada anaknya untuk melakukan sholat وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ “ketika mereka berumur tujuh tahun”.
Meski tidak dijelaskan langsung perintah di sini bagi siapa diperintahkan dalam “dlomir” antumnya. Akan tetapi sudah mafhum yang mempunyai anak adalah orang tua. kata “ مروا ” di atas dalam kaidah ushul fiqih termasuk Perintah Nadbun yakni perintah sunah atau anjuran. Dan perintah sunah ini dapat menjadi wajib ketika hal itu ditinggalkan menjadi bahaya atau menimbulkan dampak negatif. Maka menjadi wajib kepada orangtua untuk menyuruh anak-anaknya mengejarkan sholat sejak usia 7 tahun. Dalam konteks Pembinaan Mental Anak, di sini tampak jelas anjuran untuk memperhatikan anak sejak usia mereka masih dini, disamping itu ada penanaman nilai-nilai tauhid serta penanaman kedisiplinan sebab sholat terikat dengan waktu-waktu tertentu.
وَاضْرِبُوَاهُمْ (dan pukullah mereka), وَاضْرِبُوَا (dan pukullah) adalah Fi’il Amar (perintah) yang menunjukkan jamak mudzakkar (semua laki-laki), meskipun menunjukkan laki-laki tapi berlaku juga untuk perempuan karena dalam kaidah Bahasa Arab khitab (penunjukan) laki-laki juga menunjukkan untuk perempuan, perintah tersebut ditujukan kepada هُمْ (mereka) Isim dhomir yang menjadi maf’ul dari وَاضْرِبُوَا yang kembali pada أَوْلاَدَ (anak-anak), عَلَيْهَا (ketika meninggalkan sholat) dan adapun perintah tersebut kepada وَهُمْ  (mereka)  أَوْلاَدَ(anak-anak) sewaktu mereka أَبْنَاءُ عَشْرٍ (anak-anak berumur 10 tahun) disini jelas ada suatu pembinaan mental dalam rangka memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap mereka menurut ‘Alqimy dalam Al Jami’us Al Shaghir dalam Syuruhul Hadits Sunan Abu Daud, perintah memukul kepada anak ketika berumur 10 tahun karena umur 10 tahun merupakan batasan kebiasaan anak bisa menanggung sebuah pukulan dan dikatakan juga pukulan itu tidak berbahaya dan tidak mengenai wajah.
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ (dan pisakanlah diantara mereka dalam tempat tidurnya)  wau dari kalimat وَفَرِّقُواadalah wau Athap yang masih berhubungan dengan kalimat perintah sebelumnya وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ (pukullah anakmu ketika meninggalkan shalat sewaktu mereka berumur sepuluh tahun) selanjutnya perintah وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ memisahkan mereka anak-anak dengan orang tua في المَضَاجِعِ dalam tempat tidurnya dalam Fathul Qadir Syarah Al Jami’ Al Shaghir mengatakan pisahkanlah anak-anakmu tempat tidurnya ketika mereka sudah sampai berumur 10 tahun untuk menghindari syahwat, At-Thaybi juga berkata berkumpullah dengan mereka anak-anakmu ketika mengerjakan shalat dan pisahkanlah tempat tidurnya sejak kecil untuk mendidik mereka agar selalu melaksanakan perintah allah dan mengajari mereka bagaimana berhubungan dengan sesama serta menjahui segala apa yang dilarang Allah.
B.      Komparasi Hadits dengan Ayat – Ayat Al-Qur’an
Dari analisis teks diatas, ada tiga hikmah yang dapat kita ambil sebagai konsep dasar dalam pembinaan mental anak, Pertama; Anjuran sholat terhadap anak sejak usia dini, hikmah dari anjuran ini adalah pembentukan mental secara vertikal tentang keesaan kepada siapa yang telah memberikan hidup dan juga bentuk pembinaan terhadap anak untuk membangun kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan. Kedua : Perintah untuk memukul ketika mengerjakan sholat pada saat usia 10 tahun , merupakan bentuk hukuman dalam rangka membangun kedisiplinan dan juga Perasaan kemasyarakatan hingga mampu bekerjasama dengan anak lain yang sebaya umurnya. Ketiga : Memisahkan tempat tidur mereka ketika sudah berumur sepuluh tahun merupakan bentuk pembinaan mental agar mampu membedakan antara mahram dan yang bukan mahramnya, Perintah untuk memisahkan tempat tidur, tidak melihat apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang jelas yaitu anak yang berusia 10 tahun, seharusnya diberi kamar sendiri sendiri. Pemisahan anak dari tempat tidur dalam tekstual kitab Manhalulatif karya Muhammad Alawi, adalah ketika tamyiz (mengenal perbedaan lain jenis, baik atau buruk dan lain-lain) yakni usia tamyiz itu sendiri masih relatif. Untuk di Indonesia kira-kira usia 9/10 tahun. Lain halnya di Arab, disana anak pada usia 7 tahun hasrat libido seksualnya telah tumbuh. Karena factor hormon dari faktor makanannya; daging dan lain-lain. Atau zaman sekarang juga sudah ada anak usia 7 tahun mungkin sudah paham tentang masalah seksual dari pengaruh media elektronik yang ditonton.
Ayat al-Qur’an yang menguatkan hadits dari Imam Abu Daud bisa kita lihat pada Al-Qur’an surat al-luqman ayat 17 Allah berfirman:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)

Ayat ini merupakan wasiat luqman kepada anaknya nasihat yang dapat menjamin kesinambungan Tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak. Dalam tafsir al-misbah Quraish Shihab mengatakan
“Beliau berkata sambil tetap memanggilnya dengan panggilan mesra: Wahai anakku sayang, laksanakanlah shalat dengan sempurna syarat,rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan disamping engkau memperhatikan dirimu dan membentenginya dari kekejian dan kemungkaran, anjurkan orang lain berlaku serupa. Karena itu, perintahkanlah secara baik- baik siapapun yang mampu engkau ajak mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran. Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam melaksanakan tuntunan Allah, karena itu tabah dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu dalam melaksanakan aneka tugasmu. Sesungguhnya yang demikian itu yang sangat tinggi kedudukannya dan jauh tingkatnya dalam kebaikan yakni shalat, amr ma’ruf dan anhi mungkar atau dan kesabaran termasuk hal –hal yang diperihkan Allah agar diutamakan, sehingga tidak ada alasan mengabaikannya.”
Nasihat Luqman tersebut merupakan pembiasaan anak dalam melaksanakan tuntunan untuk menimbulkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan serta keedulian sosial, sholat merupakan amaliyah puncak yang berkaitan dengan amal – amal shaleh serta kebajikan yang tercermin dalam pribadi setiap anak.
Panggilan mesra Luqman kepada anaknya merupakan sebuah perhatian yang luar biasa orang tua terhadap anaknya, sebuah bentuk kasih sayang yang ditawarkan oleh al-Qur’an bagaimana cara memperlakukan anak dengan meletakkan pada tempat terhormat yang penuh dengan kasih sayang, suatu bentuk perlakuan yang sangat arif bagaimana memposisikan seorang anak pada tempat yang tidak akan pernah dibayangkan oleh anak akan mendapat perlakuan yang istimewa sehingga anak tidak merasa terhina bahkan malu berhadapan orang – orang yang ada diluar dirinya.

C.      Relavansi Hadits dengan Realitas kehidupan saat ini  
Hadits di atas perintah shalat kepada anak ketika usia 7 tahun, karena usia 7 tahun merupakan usia yang tepat diberikannya sebuah pendidikan atau pengajaran. Menurut kacamata psikologi perkembangan masa anak usia dini atau masa sekolah (6,0-12,0 tahun) anak telah:
1.       Telah ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan.
2.       Perasaan kemasyarakatan telah berkembang luas hingga mampu bekerjasama dengan anak lain yang sebaya umurnya.
3.       Telah mempunyai intelektual yang cukup besar.
4.       Memiliki perkembangan jasmani yang cukup untuk melakukan tugas dan kewajiban.[10]
Apabila pembinaan mental terabaikan di dalam keluarga terutama sampai akhir masa kanak-kanak (12 tahun), akan sulitlah bagi anak menghadapi perubahan cepat pada dirinya yang tidak jarang membawa goncangan emosi.[11] Selain dari pendapat ahli di atas tentang usia 7 tahun ini dapat dikuatkan dengan pepatah arab; “Pengajaran di waktu kecil ibarat melukis di atas batu dan pengajaran diwaktu besar ibarat melukis di atas air”.[12]
Bahwasanya Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Hadits perintah memukul ketika usia 10 tahun saat anak meninggalkan shalat. M. Athiyah Al-Abrosy berpendapat, untuk dijatuhi hukuman jasmaniah disyaratkan sebagai berikut;
1.       Sebelum berumur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul.
2.       Pukulan tidak boleh lebih dari 3 kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini ialah lidi atau tongkat kecil bukanlah tongkat besar.
3.       Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).[13]
Rasulullah sendiri memberikan selisih waktu yang cukup untuk orangtua dan sang anak sebelum orangtua memberikan hukuman badani terhadap anaknya apabila meninggalkan shalat. Kemungkinan anak laki-laki ataupun perempuan ketika berusia 10 tahun terpengaruh oleh faktor-faktor psikologis dan pikiran yang mendorongnya bersikap malas, bandel atau sikap-sikap yang lain. Dengan demikian perintah untuk shalat yang terus menerus pada anak dapat dijadikan peringatan dan perhatian sehingga kemudian konsentrasi perhatiaannya tertumpu kepada perintah shalat, apabila sang anak masih saja membandel maka dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya.[14]
Untuk hukuman memukul pada usia 10 tahun ini merupakan saat yang tepat bukan hanya berasal dari pendapat-pendapat di atas. Dengan hukuman yang diberikan secara proporsional sesuai dengan kesalahan anak. Juga berat ringan sebuah hukuman haruslah disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak. Yakni hukuman harus dibedakan yang semisal anak memecahkan piring dengan anak melalaikan shalat. Atau dapat dikatakan pelanggaran masalah syar`i harus dapat porsi hukuman yang khusus dibandingkan dengan masalah-masalah yang tidak penting. Karena menurut tinjauan psikologi agama dan perkembangan usia anak, usia 10 tahun haruslah sudah memiliki concience (kata hati).
Perintah untuk memisahkan tempat tidur, tidak melihat apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang jelas yaitu anak yang berusia 10 tahun, seharusnya diberi kamar sendiri-sendiri. pada masa sekarang anak kemungkinan besar sudah paham tentang masalah seksual dari pengaruh media elektronik yang ditonton. Ketika anak menginjak usia 10 tahun insting yang dimilikinya sedang menuju ke arah perkembangan dan ingin membuktikan eksistensi dirinya. Oleh karena itu, ia harus diperlakukan secara hati-hati dengan menangkal semua penyebab kerusakan, jalan penyimpangan dan terhanyutnya oleh arus yang negatif. Caranya antara lain ialah tidak membiarkan mereka tidur satu kasur, tetapi masing-masing harus tidur di atas kasurnya sendiri terpisah dari yang lain.[15]
Al-Imam Al-Ghazali mengisahkan tentang sakinahnya keluarga Sayyidina Umar bin Khathab dan keakrabannya terhadap anak-anak dan anggota keluarganya, sehingga ia (Umar) berani memecat seorang kepada daerah hanya karena ia merupakan orang yang otoriter terhadap keluarganya. Lebih jelas kisahnya adalah: .Alkisah ada seorang yang bernama Al-Aqra. bin Habis menemui Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Ia menemukan Umar sedang bermain dengan anak-anaknya. Anak-anak Umar menempel di punggungnya dan Umar merayap. Al-Aqra. berkata,: Amirul Mukminin, apakah seperti itu engkau lakukan bersama anak-anakmu? Umar bangun dan balik bertanya, apa yang engkau lakukan di rumahmu? Al-Aqra. menjawab, : .Jika saya pulang ke rumah, anak yang sedang berdiri cepatcepat duduk, anak yang sedang berbicara mendadak terdiam, dan anak yang sedang tidur-tiduran mendadak bangun. Saya mempunyai anak sebanyak sepuluh orang. Namun tidak ada satu pun yang pernah saya cium.. Umar berkata: .Kalau begitu engkau tidak pantas menjadi pemimpin kaum Muslimin.. Maka Al-Aqra. diperintahkan Umar untuk segera dipecat dari jabatannya sebagai kepala daerah saat itu.[16] Dari kisah di atas menunjukkan bahwa keluarga Umar bin Khathab merupakan keluarga yang harmonis yang penuh kasih sayang dan keakraban terhadap anak-anak dan anggota keluarganya.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan hadits perintah shalat bagi anak HR. Imam Abu Daud ini masih sangat relevan untuk diberlakukan pada masa sekarang karena ketentuan tegas (wajib) yang ditujukan pada orangtua untuk mengajari anak-anaknya shalat merupakan sebuah pembinaan mental anak secara vertikal dan horinsal, yang jarang ditemukan pada teori atau konsep yang ada pada saat ini.
Kandungan Hadits dalam pemaparan diatas dapat disimpulan sebagaimana penuturan al-Leqimi Izzudin as-Salam, berpendapat bahwa anak (as-Shabii) dalam pernyataan hadits ini bukanlah mukhatab, melainkan yang dimaksud di sini adalah bahwa perintah mengerjakan atau mendidik ditujukan kepada orangtua atau wali, karena bagaimanapun tidaklah mungkin bagi seorang anak (yang belum memasuki daur al-Bulugh dan Daur ar-Rusyud atau fase dewasa dan fase nalar) dapat mencerna secara langsung khitab yang dalam nash.[17] Senada dengan ayat – ayat yang ada dalam al-Qur’an melalui wasiat Luqman kepada anaknya.
Dari pemaparan diatas pembinaan anak dalam persfektik islam dapat jabarkan sebagai berikut:
1.       Dengarkanlah dengan baik anak Anda dan perhatikan setiap kata yang diucapkannya.
2.       Buatlah anak Anda menghadapi sendiri masalah-masalahnya, sementara Anda bisa membantunya tanpa ia sadari.
3.       Hormatilah anak Anda dan berterima kasihlah kepadanya apabila ia melakukan suatu pekerjaan.
4.       Jaganlah mengiring anak Anda untuk bersumpah, sebaliknya katakan kepadanya,”Aku mempercayai mu tanpa engkau bersumpah.”
5.       Hindarilah ungkapan-ungkapan terror dan ancaman.
6.       Janganlah Anda membuat anak Anda merasa sebagai seseorang yang buruk dan bodoh, yang tidak bisa cepat mengerti.
7.       Janganlah mengeluh karena banyaknya pertanyaan anak Anda dan usahakan menjawab semua yang ditanyakannya dengan jawaban sederhana dan memuaskan.
8.       Peluklah anak Anda biarkanlah ia merasakan kehangatan cinta dan kasih saying Anda.

DAFTAR PUSTAKA

1.            At-Tayyib Muhammad Syam al-Haq ad-Din Abadi, `Aun al-Ma`bud, Sarah Sunan Abu Daud Juz II Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
2.            Jamaal Abdur Rahman diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Lc, Tahapan Mendidik Anak; Teladan Rasulullah Saw... ,Bandung : Irsyad Baitus Salam,2005.
3.            Isyan Basya, Menggapai Hidayah dari Kisah (Kumpulan Kisah dari Buku-buku Al-Ghazali) Cet Ke-1, Bandung: Hasyimi, 2005.
4.            Abu Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1995.
5.            Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan .Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991.
6.            Ahmad Tafsir (ed), Pendidikan Agama, hlm. 101Humaidi Tata Pangarsa, Metodologi Pendidikan Islam , Malang : Penerbit Almamater YPTP, IKIP Malang 1974.
7.            Mahfudzh Shalahuddin, dkk, Metodologi Pendidikan Agama Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
8.            M. Athiyah Al-Abrosy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1970.
9.            CD Al-Maraji’il Akbar Littiratsil Islam
10.                                         kitab Usul Fiqh, Tashilut Turuqot dengan konteks Al-Aslu Fil `Amri Lil Wujub. Semarang: Thoha Putra.
11.         Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1989), hal 117.
12.                                  (http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-dan-pembinaan-mental-anak.html. diakses tgl 24 April 2011)
13.         Djalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja Grafindo, 1997
14.         M. Dalyono, Psikologi Pendidikan . Cet. Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
15.         Rafi.udin, Mendambakan Keluarga Tentram ( Keluarga Sakinah), Cet. Ke-1 Semarang: Intermasa, 2001.


[1] Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1989), hal 117.
[2] (http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-dan-pembinaan-mental-anak.html. diakses tgl 24 April 2011)
[3] ibid
[4] CD Al-Maraji’il Akbar Littiratsil Islam
[5] Djalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo, 1997, h.21 
[6] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan . Jakarta: Rineka Cipta, 2001, Cet. Ke-2, hal. 20
[7] Rafi.udin, Mendambakan Keluarga Tentram ( Keluarga Sakinah), (Semarang: Intermasa,
2001), Cet. Ke-1, hal. 21
[8] CD Al-Maraji’il Akbar Littiratsil Islam
[9] Dikutip dalam kitab Usul Fiqh, Tashilut Turuqot dengan konteks Al-Aslu Fil `Amri Lil
Wujub (Semarang, Thoha Putra)
[10] Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991) hlm.48
[11] Ahmad Tafsir (ed), Pendidikan Agama, hlm. 101
[12] Humaidi Tata Pangarsa, Metodologi Pendidikan Islam (Malang, Penerbit Almamater YPTP, IKIP Malang 1974) hal. 28 dalam Mahfudzh Shalahuddin, dkk, Metodologi Pendidikan Agama (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1987) hlm. 101
[13] M. Athiyah Al-Abrosy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1970) hlm. 219-220
[14] Abu Firdaus al-Halwani, Melahirkan Anak Sholeh, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1995).hlm.103-104.
[15] Jamaal Abdur Rahman diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Lc, Tahapan Mendidik Anak; Teladan Rasulullah Saw...(Bandung, Irsyad Baitus Salam,2005) hlm.173
[16] Isyan Basya, Menggapai Hidayah dari Kisah (Kumpulan Kisah dari Buku-buku Al-Ghazali), (Bandung: Hasyimi, 2005), Cet Ke-1, h. 75
[17] Lihat at-Tayyib Muhammad Syam al-Haq ad-Din Abadi, `Aun al-Ma`bud, Sarah Sunan Abu Daud (Beirut, Dar al-Fikr, 1974), Juz II, hlm. 161