PEMBINAAN MENTAL ANAK
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “pembinaan” berasal dari kata “bina” yang berarti
“bangun”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “pembinaan” Adalah
sebuah proses, cara membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh
hasil yang lebih baik[1]
Dalam masyarakat kita, istilah mental tidak asing lagi, orang-orang sudah
dapat menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (574) mental diartikan "hal yang menyangkut batin dan
watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga." Sedangkan dalam
Kamus Psikologi mental diartikan "hal yang menyinggung masalah fikiran,
akal, ingatan atau proses-proses yang berasosiasi dengan fikiran ingatan"
(Chaplin, 2002: 340).[2]
Dalam ilmu psikiatri dan psichoterapi,
kata mental, sering digunakan sebagai ganti kata personality (kepribadian)
yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran,
emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya
akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan,
mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya (Zakiah Daradjat,
1975 : 39).[3]
Pembinaan mental anak sering kali kurang mendapat
perhatian dari orag tua disebabkan kurangnya perhatian dan kasih sayang orang
tua terhadap anak-anaknya yang berdampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak mereka, orang tua menganggap bahwa dengan uang dan materi
akan mampu membahagiakan mereka, sedangkan mereka justru sibuk mencari dan mengumpulkan harta benda, sehingga mengesampingkan
kasih sayang terhadap anak-anak mereka.
Kebiasaan seorang anak seringkali dianggap perkara biasa,
anggapan ini merupakan anggapan yang salah karena sopan santun merupakan dasar
untuk menjadikan umat beradab, sangat perlu diajarkan sejak anak usia dini oleh
karena itu hendaklah orangtua membiasakan anak untuk berbuat baik sejak usia
dini baik yang besifat vertikal maupun horisontal, sebagaiamana hadits nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang perintah sholat sejak anak umur tujuh
tahun sebagai berikut :
مُرُوا أَوْلاَدَكُم
بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ
أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ ) سونن أبو داود ٤٩٥ (
Artinya : “Rasulullah bersabda suruhlah anak kalian untuk
melaksanakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka
apabila tidak mau melaksanakan sholat sewaktu mereka berumur sepuluh tahun dan
pisahkanlah tempat tidurnya mereka,” (HR. Abu Daud)[4]
Menurut Djalaluddin, fungsi dan peranan kedua orang tua
sebagai teladan terdekat dengan anak telah diakui dalam pendidikan Islam.
Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari
keteladanan orang tua mereka.[5] Faktor-faktor
imitasi, sugesti, dan simpati, misalnya memegang peran penting dalam interaksi
sosial. Anak mula-mula melakukan identifikasi terhadap orang-orang dewasa di
rumahnya, biasanya anak laki-laki terhadap ayahnya dan anak perempuan terhadap
ibunya. Oleh karena itu, kesempatan anak untuk berindentifikasi dan meniru
tingkah laku orang tua-nya sangat besar.
Dalam Psikologi, Seorang anak pada dasarnya akan
meniru apa yang dilihat atau dialami pada lingkungannya (behaviorisme/empirisme)
di mana semua memori kejadian akan tersimpan dalam pikiran alam bawah sadarnya,
sehingga lambat laun akan membentuk watak serta kepribadian anak ketika dia
beranjak dewasa.[6]
Pada realitasnya berdasarkan intensitas waktu seorang
anak selama satu hari misalnya, yang terjadi adalah anak lebih banyak
menghabiskan waktu dengan lingkungan di luar sekolahnya (keluarga). Ini artinya
keluarga mempunyai peran yang sangat sentral di dalam membentuk kepribadian dan
akhlak anak. Hal ini disebabkan karena keluarga merupakan lembaga pendidikan
yang pertama dan utama.[7]
Orang tua sebagai manusia yang menjadi pujaan anak harus
memberikan teladan kepada mereka baik dalam perkataan, perbuatan dan akhlaknya.
sebab berbagai penampilan tingkah laku yang ditampilkan orang tua secara tidak
disadari telah terinternalisasikan kedalam diri dan prilaku keseharian anaknya.
Islam memandang orangtua sangat berperan dalam pembinaan anak, sebagaiamana
hadits yang diriwayatkan oleh HR Ahmad bin Hambal, Nabi bersabda :
Artinya : “Tidak ada suatu
pemberian utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi
pekerti yang baik”. (HR. Ahmad bin Hambal)
Dalam keluarga orang tua bertugas sebagai pemimpin
keluarga yang harus memelihara dan melindungi keselamatan hidup dan kehidupan
keluarga baik moral maupun materiil. Suami adalah pimpinan bagi istri dan
anak-anaknya, dimana istri atau seorang ibu mempunyai peranan yang sangat
penting dalam membantu membina dan membentuk karakter seorang anak dimana
bahasa kasih yang dimiliki oleh seorang ibu dapat diterima oleh seorang anak,
karna kasih sayang yang diberikan sejak dalam kandunganm hingga anak tumbuh
dewasa.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka ........(QS. At-Tahriim : 6)
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, permasalahan yang
akan dibahas adalah Bagaimana Pembinaan Mental Anak dalam pesfektif islam
dengan memilih hadits perintah sholat yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai
dasar dalam Pembinaan Mental Anak, dengan mengkomparasikannya pada ayat-ayat
Al-Qur’an serta relevansi hadits tersebut dengan realitas kehidupan hari ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Analisis Teks Hadits
مُرُوا أَوْلاَدَكُم
بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ
عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ ) سونن أبو داود ٤٩٥ (
Artinya : “Rasulullah
bersabda suruhlah anak kalian untuk melaksanakan sholat ketika mereka berumur
tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila tidak mau melaksanakan sholat sewaktu
mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidurnya mereka,” (HR. Abu Daud)[8]
مُرُوا (suruhlah) adalah fi’il amar
jamak mudzakkar mukhotob yang berfungsi sebagai perintah_dalam
kaidah ushul fiqih, kata perintah mempunyai kalasifikasi 10 macam; (1) Nadbun
berarti perintah sunah atau anjuran. (2) Irsyad berati menunjukkan
(3) Do`a berarti memohon (4) Iltimas berarti sindiran (5) Tamanni
berarti berangan-angan (6) Takhyir berarti perintah memilih (7) Taswiyah
berarti mempersamakan (8) Ta`jiz berarti melemahkan (9) Tahdid berarti
ancaman dan (10) Ibadah[9] _kepada كُم
(kamu sekalian) yang memunyai أَوْلاَدَ
(Anak –anak), أَوْلاَدَكُم Maf’ul yang mansub dengan
fathah karena jamak taksir berfungsi sebagai yang mendapat perintah, dhomir kum
merujuk pada yang mempunyai anak, perintah tersebut adalah بالصَّلاَةِ (sholat) jadi مُرُوا أَوْلاَدَكُم
بالصَّلاَةِ “Suruhlah anak-anakmu
sholat” merupakan perintah dari perintah; perintah nabi kepada yang mempuyai
anak, dari yang mempunyai anak kepada anaknya untuk melakukan sholat وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع
سِنِينَ “ketika mereka berumur
tujuh tahun”.
Meski tidak dijelaskan langsung perintah di sini bagi
siapa diperintahkan dalam “dlomir” antumnya. Akan tetapi sudah mafhum yang
mempunyai anak adalah orang tua. kata “ مروا ” di atas dalam kaidah
ushul fiqih termasuk Perintah Nadbun yakni perintah sunah atau anjuran.
Dan perintah sunah ini dapat menjadi wajib ketika hal itu ditinggalkan menjadi
bahaya atau menimbulkan dampak negatif. Maka menjadi wajib kepada orangtua
untuk menyuruh anak-anaknya mengejarkan sholat sejak usia 7 tahun. Dalam
konteks Pembinaan Mental Anak, di sini tampak jelas anjuran untuk memperhatikan
anak sejak usia mereka masih dini, disamping itu ada penanaman nilai-nilai
tauhid serta penanaman kedisiplinan sebab sholat terikat dengan waktu-waktu
tertentu.
وَاضْرِبُوَاهُمْ (dan pukullah mereka), وَاضْرِبُوَا (dan pukullah) adalah Fi’il
Amar (perintah) yang menunjukkan jamak mudzakkar (semua laki-laki),
meskipun menunjukkan laki-laki tapi berlaku juga untuk perempuan karena dalam
kaidah Bahasa Arab khitab (penunjukan) laki-laki juga menunjukkan untuk
perempuan, perintah tersebut ditujukan kepada هُمْ
(mereka) Isim dhomir yang menjadi maf’ul dari وَاضْرِبُوَا yang kembali pada أَوْلاَدَ (anak-anak), عَلَيْهَا (ketika meninggalkan sholat) dan
adapun perintah tersebut kepada وَهُمْ (mereka) أَوْلاَدَ(anak-anak)
sewaktu mereka أَبْنَاءُ عَشْرٍ (anak-anak berumur 10
tahun) disini jelas ada suatu pembinaan mental dalam rangka memberikan
perhatian dan kasih sayang terhadap mereka menurut ‘Alqimy dalam Al Jami’us Al
Shaghir dalam Syuruhul Hadits Sunan Abu Daud, perintah memukul kepada anak
ketika berumur 10 tahun karena umur 10 tahun merupakan batasan kebiasaan anak
bisa menanggung sebuah pukulan dan dikatakan juga pukulan itu tidak berbahaya
dan tidak mengenai wajah.
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في
المَضَاجِعِ (dan pisakanlah diantara mereka
dalam tempat tidurnya) wau dari
kalimat وَفَرِّقُواadalah wau Athap
yang masih berhubungan dengan kalimat perintah sebelumnya وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا
وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ (pukullah anakmu ketika
meninggalkan shalat sewaktu mereka berumur sepuluh tahun) selanjutnya perintah وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ memisahkan mereka
anak-anak dengan orang tua في المَضَاجِعِ dalam tempat tidurnya
dalam Fathul Qadir Syarah Al Jami’ Al Shaghir mengatakan pisahkanlah
anak-anakmu tempat tidurnya ketika mereka sudah sampai berumur 10 tahun untuk
menghindari syahwat, At-Thaybi juga berkata berkumpullah dengan mereka
anak-anakmu ketika mengerjakan shalat dan pisahkanlah tempat tidurnya sejak
kecil untuk mendidik mereka agar selalu melaksanakan perintah allah dan
mengajari mereka bagaimana berhubungan dengan sesama serta menjahui segala apa
yang dilarang Allah.
B.
Komparasi Hadits dengan Ayat
– Ayat Al-Qur’an
Dari analisis teks diatas, ada tiga hikmah yang dapat
kita ambil sebagai konsep dasar dalam pembinaan mental anak, Pertama;
Anjuran sholat terhadap anak sejak usia dini, hikmah dari anjuran ini
adalah pembentukan mental secara vertikal tentang keesaan kepada siapa yang
telah memberikan hidup dan juga bentuk pembinaan terhadap anak untuk membangun
kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan. Kedua : Perintah untuk
memukul ketika mengerjakan sholat pada saat usia 10 tahun , merupakan bentuk
hukuman dalam rangka membangun kedisiplinan dan juga Perasaan kemasyarakatan
hingga mampu bekerjasama dengan anak lain yang sebaya umurnya. Ketiga :
Memisahkan tempat tidur mereka ketika sudah berumur sepuluh tahun merupakan
bentuk pembinaan mental agar mampu membedakan antara mahram dan yang bukan
mahramnya, Perintah untuk memisahkan tempat tidur, tidak melihat apakah anak
itu laki-laki atau perempuan, yang jelas yaitu anak yang berusia 10 tahun,
seharusnya diberi kamar sendiri sendiri. Pemisahan anak dari tempat tidur dalam
tekstual kitab Manhalulatif karya Muhammad Alawi, adalah ketika tamyiz
(mengenal perbedaan lain jenis, baik atau buruk dan lain-lain) yakni usia
tamyiz itu sendiri masih relatif. Untuk di Indonesia kira-kira usia 9/10 tahun.
Lain halnya di Arab, disana anak pada usia 7 tahun hasrat libido seksualnya
telah tumbuh. Karena factor hormon dari faktor makanannya; daging dan
lain-lain. Atau zaman sekarang juga sudah ada anak usia 7 tahun mungkin sudah
paham tentang masalah seksual dari pengaruh media elektronik yang ditonton.
Ayat al-Qur’an yang menguatkan hadits dari Imam Abu Daud
bisa kita lihat pada Al-Qur’an surat al-luqman ayat 17 Allah berfirman:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah)”
Ayat ini merupakan wasiat luqman kepada anaknya nasihat
yang dapat menjamin kesinambungan Tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang
anak. Dalam tafsir al-misbah Quraish Shihab mengatakan
“Beliau berkata sambil tetap memanggilnya dengan
panggilan mesra: Wahai anakku sayang, laksanakanlah shalat dengan
sempurna syarat,rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan disamping engkau memperhatikan
dirimu dan membentenginya dari kekejian dan kemungkaran, anjurkan orang lain
berlaku serupa. Karena itu, perintahkanlah secara baik- baik siapapun
yang mampu engkau ajak mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah mereka dari
kemungkaran. Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan
dalam melaksanakan tuntunan Allah, karena itu tabah dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpamu dalam melaksanakan aneka tugasmu. Sesungguhnya yang
demikian itu yang sangat tinggi kedudukannya dan jauh tingkatnya dalam
kebaikan yakni shalat, amr ma’ruf dan anhi mungkar atau dan kesabaran termasuk
hal –hal yang diperihkan Allah agar diutamakan, sehingga tidak ada
alasan mengabaikannya.”
Nasihat Luqman tersebut
merupakan pembiasaan anak dalam melaksanakan tuntunan untuk menimbulkan dalam
dirinya jiwa kepemimpinan serta keedulian sosial, sholat merupakan amaliyah
puncak yang berkaitan dengan amal – amal shaleh serta kebajikan yang tercermin
dalam pribadi setiap anak.
Panggilan mesra Luqman kepada anaknya merupakan sebuah
perhatian yang luar biasa orang tua terhadap anaknya, sebuah bentuk kasih
sayang yang ditawarkan oleh al-Qur’an bagaimana cara memperlakukan anak dengan
meletakkan pada tempat terhormat yang penuh dengan kasih sayang, suatu bentuk
perlakuan yang sangat arif bagaimana memposisikan seorang anak pada tempat yang
tidak akan pernah dibayangkan oleh anak akan mendapat perlakuan yang istimewa
sehingga anak tidak merasa terhina bahkan malu berhadapan orang – orang yang
ada diluar dirinya.
C.
Relavansi Hadits dengan Realitas
kehidupan saat ini
Hadits di atas perintah shalat kepada anak ketika usia 7
tahun, karena usia 7 tahun merupakan usia yang tepat diberikannya sebuah
pendidikan atau pengajaran. Menurut kacamata psikologi perkembangan masa anak
usia dini atau masa sekolah (6,0-12,0 tahun) anak telah:
1.
Telah ada kesadaran
terhadap kewajiban dan pekerjaan.
2.
Perasaan kemasyarakatan
telah berkembang luas hingga mampu bekerjasama dengan anak lain yang sebaya
umurnya.
3.
Telah mempunyai
intelektual yang cukup besar.
4.
Memiliki perkembangan
jasmani yang cukup untuk melakukan tugas dan kewajiban.[10]
Apabila pembinaan mental terabaikan di dalam keluarga terutama
sampai akhir masa kanak-kanak (12 tahun), akan sulitlah bagi anak menghadapi
perubahan cepat pada dirinya yang tidak jarang membawa goncangan emosi.[11]
Selain dari pendapat ahli di atas tentang usia 7 tahun ini dapat dikuatkan
dengan pepatah arab; “Pengajaran di waktu kecil ibarat melukis di atas batu
dan pengajaran diwaktu besar ibarat melukis di atas air”.[12]
Bahwasanya Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya
sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Hadits perintah memukul ketika usia 10 tahun saat anak
meninggalkan shalat. M. Athiyah Al-Abrosy berpendapat, untuk dijatuhi hukuman
jasmaniah disyaratkan sebagai berikut;
1.
Sebelum berumur 10 tahun
anak-anak tidak boleh dipukul.
2.
Pukulan tidak boleh lebih
dari 3 kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini ialah lidi atau tongkat kecil
bukanlah tongkat besar.
3.
Diberikan kesempatan
kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan merusak nama baiknya
(menjadikan ia malu).[13]
Rasulullah sendiri memberikan selisih waktu yang cukup
untuk orangtua dan sang anak sebelum orangtua memberikan hukuman badani
terhadap anaknya apabila meninggalkan shalat. Kemungkinan anak laki-laki
ataupun perempuan ketika berusia 10 tahun terpengaruh oleh faktor-faktor
psikologis dan pikiran yang mendorongnya bersikap malas, bandel atau
sikap-sikap yang lain. Dengan demikian perintah untuk shalat yang terus menerus
pada anak dapat dijadikan peringatan dan perhatian sehingga kemudian
konsentrasi perhatiaannya tertumpu kepada perintah shalat, apabila sang anak
masih saja membandel maka dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya.[14]
Untuk hukuman memukul pada usia 10 tahun ini merupakan
saat yang tepat bukan hanya berasal dari pendapat-pendapat di atas. Dengan
hukuman yang diberikan secara proporsional sesuai dengan kesalahan anak. Juga berat
ringan sebuah hukuman haruslah disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak. Yakni
hukuman harus dibedakan yang semisal anak memecahkan piring dengan anak
melalaikan shalat. Atau dapat dikatakan pelanggaran masalah syar`i harus dapat
porsi hukuman yang khusus dibandingkan dengan masalah-masalah yang tidak
penting. Karena menurut tinjauan psikologi agama dan perkembangan usia anak,
usia 10 tahun haruslah sudah memiliki concience (kata hati).
Perintah untuk memisahkan tempat tidur, tidak melihat
apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang jelas yaitu anak yang berusia 10
tahun, seharusnya diberi kamar sendiri-sendiri. pada masa sekarang anak
kemungkinan besar sudah paham tentang masalah seksual dari pengaruh media
elektronik yang ditonton. Ketika anak menginjak usia 10 tahun insting yang
dimilikinya sedang menuju ke arah perkembangan dan ingin membuktikan eksistensi
dirinya. Oleh karena itu, ia harus diperlakukan secara hati-hati dengan
menangkal semua penyebab kerusakan, jalan penyimpangan dan terhanyutnya oleh
arus yang negatif. Caranya antara lain ialah tidak membiarkan mereka tidur satu
kasur, tetapi masing-masing harus tidur di atas kasurnya sendiri terpisah dari
yang lain.[15]
Al-Imam Al-Ghazali mengisahkan tentang sakinahnya
keluarga Sayyidina Umar bin Khathab dan keakrabannya terhadap anak-anak dan
anggota keluarganya, sehingga ia (Umar) berani memecat seorang kepada daerah
hanya karena ia merupakan orang yang otoriter terhadap keluarganya. Lebih jelas
kisahnya adalah: .Alkisah ada seorang yang bernama Al-Aqra. bin Habis menemui
Amirul Mukminin, Umar bin Khathab. Ia menemukan Umar sedang bermain dengan
anak-anaknya. Anak-anak Umar menempel di punggungnya dan Umar merayap. Al-Aqra.
berkata,: Amirul Mukminin, apakah seperti itu engkau lakukan bersama
anak-anakmu? Umar bangun dan balik bertanya, apa yang engkau lakukan di
rumahmu? Al-Aqra. menjawab, : .Jika saya pulang ke rumah, anak yang sedang
berdiri cepatcepat duduk, anak yang sedang berbicara mendadak terdiam, dan anak
yang sedang tidur-tiduran mendadak bangun. Saya mempunyai anak sebanyak sepuluh
orang. Namun tidak ada satu pun yang pernah saya cium.. Umar berkata: .Kalau
begitu engkau tidak pantas menjadi pemimpin kaum Muslimin.. Maka Al-Aqra.
diperintahkan Umar untuk segera dipecat dari jabatannya sebagai kepala daerah
saat itu.[16]
Dari kisah di atas menunjukkan bahwa keluarga Umar bin Khathab merupakan
keluarga yang harmonis yang penuh kasih sayang dan keakraban terhadap anak-anak
dan anggota keluarganya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas
dapat kita simpulkan hadits perintah shalat bagi anak HR. Imam Abu Daud ini
masih sangat relevan untuk diberlakukan pada masa sekarang karena ketentuan
tegas (wajib) yang ditujukan pada orangtua untuk mengajari anak-anaknya shalat
merupakan sebuah pembinaan mental anak secara vertikal dan horinsal, yang
jarang ditemukan pada teori atau konsep yang ada pada saat ini.
Kandungan Hadits dalam
pemaparan diatas dapat disimpulan sebagaimana penuturan al-Leqimi Izzudin
as-Salam, berpendapat bahwa anak (as-Shabii) dalam pernyataan hadits
ini bukanlah mukhatab, melainkan yang dimaksud di sini adalah bahwa perintah
mengerjakan atau mendidik ditujukan kepada orangtua atau wali, karena
bagaimanapun tidaklah mungkin bagi seorang anak (yang belum memasuki daur
al-Bulugh dan Daur ar-Rusyud atau fase dewasa dan fase nalar) dapat
mencerna secara langsung khitab yang dalam nash.[17]
Senada dengan ayat – ayat yang ada dalam al-Qur’an melalui wasiat Luqman kepada
anaknya.
Dari pemaparan diatas pembinaan
anak dalam persfektik islam dapat jabarkan sebagai berikut:
1.
Dengarkanlah dengan baik
anak Anda dan perhatikan setiap kata yang diucapkannya.
2.
Buatlah anak Anda
menghadapi sendiri masalah-masalahnya, sementara Anda bisa membantunya tanpa ia
sadari.
3.
Hormatilah anak Anda dan
berterima kasihlah kepadanya apabila ia melakukan suatu pekerjaan.
4.
Jaganlah mengiring anak
Anda untuk bersumpah, sebaliknya katakan kepadanya,”Aku mempercayai mu tanpa
engkau bersumpah.”
5.
Hindarilah
ungkapan-ungkapan terror dan ancaman.
6.
Janganlah Anda membuat
anak Anda merasa sebagai seseorang yang buruk dan bodoh, yang tidak bisa cepat
mengerti.
7. Janganlah mengeluh karena banyaknya pertanyaan anak Anda
dan usahakan menjawab semua yang ditanyakannya dengan jawaban sederhana dan memuaskan.
8. Peluklah anak Anda biarkanlah ia merasakan kehangatan
cinta dan kasih saying Anda.
DAFTAR PUSTAKA
1.
At-Tayyib Muhammad Syam
al-Haq ad-Din Abadi, `Aun al-Ma`bud, Sarah Sunan Abu Daud Juz II Beirut:
Dar al-Fikr, 1974.
2.
Jamaal Abdur Rahman
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Lc, Tahapan Mendidik
Anak; Teladan Rasulullah Saw... ,Bandung : Irsyad Baitus Salam,2005.
3.
Isyan Basya, Menggapai
Hidayah dari Kisah (Kumpulan Kisah dari Buku-buku Al-Ghazali) Cet Ke-1, Bandung:
Hasyimi, 2005.
4.
Abu Firdaus al-Halwani, Melahirkan
Anak Sholeh, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1995.
5.
Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi
Pendidikan .Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991.
6.
Ahmad
Tafsir (ed), Pendidikan Agama, hlm. 101Humaidi Tata Pangarsa, Metodologi
Pendidikan Islam , Malang : Penerbit Almamater YPTP, IKIP Malang 1974.
7.
Mahfudzh
Shalahuddin, dkk, Metodologi Pendidikan Agama Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1987.
8.
M.
Athiyah Al-Abrosy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1970.
9.
CD Al-Maraji’il Akbar
Littiratsil Islam
10.
kitab Usul Fiqh, Tashilut
Turuqot dengan konteks Al-Aslu Fil `Amri Lil Wujub. Semarang: Thoha
Putra.
11.
Pusat Pembinaan &
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai
pustaka, 1989), hal 117.
12.
(http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-dan-pembinaan-mental-anak.html. diakses tgl 24 April 2011)
13.
Djalaluddin,
Psikologi Agama, Jakarta : Raja
Grafindo, 1997
14.
M.
Dalyono, Psikologi Pendidikan . Cet.
Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
15.
Rafi.udin,
Mendambakan Keluarga Tentram ( Keluarga Sakinah), Cet. Ke-1 Semarang:
Intermasa, 2001.
[1] Pusat
Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1989), hal 117.
[2] (http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pendidikan-dan-pembinaan-mental-anak.html. diakses tgl 24 April 2011)
[5]
Djalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, Raja Grafindo, 1997, h.21
[7]
Rafi.udin, Mendambakan Keluarga Tentram ( Keluarga Sakinah), (Semarang:
Intermasa,
2001),
Cet. Ke-1, hal. 21
[9] Dikutip
dalam kitab Usul Fiqh, Tashilut Turuqot dengan konteks Al-Aslu Fil `Amri
Lil
Wujub (Semarang, Thoha Putra)
[11] Ahmad
Tafsir (ed), Pendidikan Agama, hlm. 101
[12] Humaidi
Tata Pangarsa, Metodologi Pendidikan Islam (Malang, Penerbit Almamater YPTP, IKIP Malang 1974) hal. 28 dalam Mahfudzh
Shalahuddin, dkk, Metodologi Pendidikan Agama (Surabaya,
PT. Bina Ilmu, 1987) hlm. 101
[13] M.
Athiyah Al-Abrosy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta, Bulan
Bintang, 1970)
hlm. 219-220
[15] Jamaal
Abdur Rahman diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Lc, Tahapan Mendidik Anak; Teladan Rasulullah
Saw...(Bandung, Irsyad Baitus Salam,2005) hlm.173
[16] Isyan
Basya, Menggapai Hidayah dari Kisah (Kumpulan Kisah dari Buku-buku
Al-Ghazali), (Bandung: Hasyimi, 2005), Cet Ke-1, h. 75
[17] Lihat
at-Tayyib Muhammad Syam al-Haq ad-Din Abadi, `Aun al-Ma`bud, Sarah Sunan Abu Daud (Beirut,
Dar al-Fikr, 1974), Juz II, hlm. 161